Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2011

SEONGGOK RESAH DI SENJA SORE

Seonggok resah terdiam membisu ditelan senja sore disekitar hening merambat sampai terasa di aliran darahnya resah masih bersembunyi di sebalik otak yang kacau bumi masih berputar, tapi resah ini makin tenggelam. tak berjawab !  resah menjerit, resah mendengkur, resah berjalan di liuk bukit-bukit tandus  mencoba mencari tempat merapuh resah beterbangan di atas tanyaku resah merembes diantara embun-embun dan hujan yang membasahi daun-daun kering tapi tak jua resah mendapatkan jawab atas tanya konyol itu dan akhirnya resah tertidur pulas diantara ketinggian puncak bukit masih tetap mendengkur diiringi tingkah senja yang redup resah berdiri kokoh sambil terlelap  membiarkan resah beranak pinak, menumpuk, bertumpuk  menjadi resah baru yang makin tak jelas sementara dedaunan yang makin kikis tetap menaunginya senja makin merangkak resah masih pulas membiarkan malam dingin tanpa menjawab ~rad~

KEHAMPAANKU

sore ini aku hanya merasa sedikit berantakan jangan kau cari aku dulu aku serasa habis berperang melawan gontai batin ini ahhh, mungkin kau masih mencari juga di sela-sela rindang itu, di antara rimbun daun begitu kecewanya engkau sang serangga nakal tak kau temui ia masih saja datang pergi begitu lunglai engkau, lalu masuk peraduan mungkin isakmu takkan berguna karena ini bukan tentang kenakalan ku bukan juga tentang sentimen ku Namun ternyata... jiwamu terlanjur tersakiti akan sakitku dan jiwamu terlanjur ku beri jarak apa yang harus kujelaskan pada jiwa-jiwa yang dilingkupi muram aku terus berjalan, walau bening masih jua mengalir tapi ia tak pernah tau aku jua sakit atas perlakuanku aku merasa menjadi penjahat hatimu bukan untuk mencuri hati dan simpatimu aku bahkan merampoki setiap bahagia yang kau himpun aku ini keji padamu, tapi kenapa masih kau cari? aku sang pisau itu, tlah beribu kali menikammu walau itu bukan mauku, t

MENJEMPUT RANTI

Oleh: Ratih Angga Dewi Gemintang menawarkan malamnya tapi aku hanya berdiam di ruang gelapku.  Diluar dingin tak sempat menusuk tulangku. Ia hanya membelai ujung tengkukku lalu berlalu. Dinding-dinding ini terlalu kokoh hingga udara tak bisa menerabas dunia kecilku. Aku merindukan kota itu, merindukannya,  setiap sudut dan aroma nafasnya. Aku merindukan Ranti-ku Aku merindukan memeluk malam, membelah keheningan itu. Menikmati senja keraton, menghirup kesederhanaan kotamu, aku rindu nasi kucingmu Menikmati kesahajaan, dalam tabir hitam putihmu. Membaur dengan suasana riuh kota. Damai bersama petikan gitar usang, lalu membayangkan bercengkrama denganmu disebuah tikar lusuh tapi cukup hangat. Ditemani semangkuk ronde hangat. Jogja, aku selalu merindukanmu. Walau hanya sejengkal jarak kita. Ganjar menutup diarynya bersamaan puisi itu rampung ditulisnya. Ia menelungkup di meja kerjanya. Betapa ia terbayang sosok ayu itu. Sosok yang tak bisa lagi di temuiny

DI BALIK KOLONG

Masih  terus mencari Mungkin saja ia sembunyi Melolong dibalik kolong Mungkin saja mulutnya bosan Berkoar diatas rumput liar Mungkin ingin berkicau Tanpa bisa kudengar Hanya jangkrik-jangkrik berkerik Miris mendengarmu Menggonggong bagai tong kosong Meringkuk Sembari berkata penuh muluk  ~rad~

SUDUT MAYA

Bising suara  Berdengung, melengking Sudut maya penuh kemunafikan Dari mulut sang pengecut Biar mulut itu nista Tunjukkan kelasmu Tunjukkan gelagat sampahmu Biar dunia tertawa Menyaksikan lakonmu Sang bodoh sembunyi Dibalik koar sampah itu Seolah tak pernah berucap Sungguh lucu Menggemaskannnnnn Ingin kucubit kau sang munafik Lalu kulempar Tapi sayang Tangan ini masih terlalu mahal Dari mulut busukmu Yang begitu murahnya berkoar Menyuarakan nada-nada sampah   ~rad~